Surat misterius
“Enak ya cokelatnya? Tapi lebih enak lagi kalau kamu membelinya. Bukan mengambilnya dari Toko Tujuh milik Pak Rahman.”
Dodi
semakin terkejut. Ini adalah surat kelima yang ditemuinya di dalam tas
sekolahnya. Seperti keempat surat sebelumnya, surat ini berisi perbuatan
nakal yang dilakukannya. Tadi siang, dia mengendap-endap masuk toko Pak
Rahman dan mencuri sebatang cokelat kesukaannya. Iseng betul sih si
penulis surat misterius ini. Misterius? Ya, karena tidak ada nama si
penulis di surat tersebut. “Tapi kok dia bisa tahu apa yang kulakukan
ya?”, pikir Dodi.
Dibacanya lagi kelanjutan surat itu, “Ingat.
Ini peringatan terakhir. Aku tahu setelah ini kamu mau mencuri mangga
Pak Ikhsan kan. Tapi kali ini, kamu akan merasakan akibatnya”. Dia teringat isi surat keempat yang berisi ancaman juga: “Kalau naik buskota bayar dong, jangan maunya gratisan terus. Awas kalau kamu berbuat tidak jujur sekali lagi.”
Dodi mengerutkan dahi. Meskipun dia heran karena si penulis surat
mengetahui akal bulusnya mengelabui kondektur buskota, dia tidak takut
dengan ancaman itu. Toh tidak ada apapun yang terjadi setelah dia
mencuri cokelat tadi siang. “Apanya yang awas”, pikir Dodi.
Read More ->>